TEORI KONSUMSI
(Dalam perspektif islam)
Konsumsi
adalah kegiatan untuk mengurangi atau menghabiskan nilai guna suatu barang atau
jasa, baik secara sekaligus maupun berangsur-angsur untuk memenuhi kebutuhan.
Orang yang memakai, menghabiskan atau mengurangi kegunaan barang atau jasa disebut
konsumen. Dengan kata lain, konsumen adalah orang yang melakukan kegiatan
konsumsi.
Konsumsi bukan
hanya sekedar makan atau minum, tetapi merupakan setiap penggunaan atau
pemakaian barang-barang dan jasa-jasa yang secara langsung dapat memuaskan
kebutuhan seseorang. Objeknya segala macam barang dan jasa yang dapat digunakan
untuk memenuhi atau memuaskan kebutuhan manusia.
Konsumsi adalah kegiatan ekonomi yang
penting, bahkan terkadang dianggap paling penting. Dalam mata rantai kegiatan
ekonomi, yaitu produksi, konsumsi, distribusi, seringkali muncul pertanyaan
manakah yang paling penting dan paling dahulu antara mereka. Jawaban atas
pertanyaan itu jelas tidak mudah, sebab memang ketiganya merupakan mata rantai
yang terkait satu dengan yang lainnya.
·
Prinsip dasar perilaku konsumen
Islami diantaranya:
- Prinsip syariah, yaitu menyangkut dasar syariat yang harus terpenuhi dalam melakukan konsumsi di mana terdiri dari: Prinsip akidah, yaitu hakikat konsumsi adalah sebagai sarana untuk ketaatan untuk beribadah sebagai perwujudan keyakinan manusia sebagai makhluk dan khalifah yang nantinya diminta pertanggungjawaban oleh Pencipta. (QS. Al-An’am : 165). Prinsip ilmu, yaitu seseorang ketika akan mengkonsumsi harus mengetahui ilmu tentang barang yang akan dikonsumsi dan hukum-hukum yang berkaitan dengannya apakah merupakan sesuatu yang halal atau haram baik ditinjau dari zat, proses, maupun tujuannya. Prinsip amaliah, sebagai konsekuensi akidah dan ilmu yang telah diketahui tentang konsumsi Islami tersebut, seseorang dituntut untuk menjalankan apa yang sudah diketahui, maka dia akan mengkonsumsi hanya yang halal serta menjauhi yang haram dan syubhat.
- Prinsip kuantitas, yaitu sesuai dengan batas-batas kuantitas yang telah dijelaskan dalam syariat Islam, di antaranya: Sederhana, yaitu mengkonsumsi secara proporsional tanpa menghamburkan harta, bermewah-mewah, mubazir, namun tidak juga pelit (QS. Al-Isra: 27-29, Al-A’raf:31).Sesuai antara pemasukan dan pengeluaran, artinya dalam mengkonsumsi harus disesuaikan dengan kemampuan yang dimilikinya, bukan besar pasak daripada tiang. Menabung dan investasi, artinya tidak semua kekayaan digunakan untuk konsumsi tapi juga disimpan untuk kepentingan pengembangan kekayaan itu sendiri.
- Prinsip prioritas, di mana memperhatikan urutan kepentingan yang harus diprioritaskan agar tidak terjadi kemudharatan, yaitu: Primer, adalah konsumsi dasar yang harus terpenuhi agar manusia dapat hidup dan menegakkan kemaslahatan dirinya dunia dan agamanya serta orang terdekatnya, seperti makanan pokok. Sekunder, yaitu konsumsi untuk menambah/meningkatkan tingkat kualitas hidup yang lebih baik, jika tidak terpenuhi maka manusia akan mengalami kesusahan. Tersier, yaitu konsumsi pelengkap manusia.
- Prinsip sosial, yaitu memperhatikan lingkungan sosial di sekitarnya sehingga tercipta keharmonisan hidup dalam masyarakat, di antaranya: Kepentingan umat, yaitu saling menanggung dan menolong sehingga Islam mewajibkan zakat bagi yang mampu juga menganjurkan sadaqah, infaq dan wakaf. Keteladanan, yaitu memberikan contoh yang baik dalam berkonsumsi baik dalm keluarga atau masyarakat . Tidak membahayakan orang yaitu dalam mengkonsumsi justru tidak merugikan dan memberikan madharat ke orang lain seperti merokok.
- Kaidah lingkungan, yaitu dalam mengkonsumsi harus sesuai dengan kondisi potensi daya dukung sumber daya atam dan kebertanjutannya atau tidak merusak lingkungan
Dalam diri seorang
muslim harus berkonsumsi yang membawa manfaat (maslahat) dan bukan.
merugikan (madhorot). Konsep maslahat menyangkut maqoshiq
syariat (dien, nafs, nasl, aql, maal), artinya harus memenuhi syarat
agar dapat menjaga agamanya tetap muslim, menjaga fisiknya agar tetap sehat dan
kuat, tetap menjaga keturunan generasi manuia yang baik, tidak merusak pol y
pikir akalnya dan tetap menjaga hartanya berkah dan berkembang. Konsep maslahat
lebih objektif karena bertolak dari al-hajat addhoruriyat (need),
yaitu prioritas yang lebih mendesak. Konsep maslahat individu
senantiasa membawa dampak terhadap maslahat umum/sosial.
·
Batasan
Konsumsi Dalam Syari’ah
Dalam
Islam, konsumsi tidak dapat dipisahkan dari peranan keimanan. Peranan keimanan
menjadi tolak ukur penting karena keimanan memberikan cara pandang dunia yang
cenderung mempengaruhi kepribadian manusia, yang dalam bentuk perilaku, gaya
hidup, selera, sikap – sikap terhadap sesama manusia, sumberdaya, dan ekologi.
Keimanan sangat mempengaruhi sifat kuantitas, dan kulitas konsumsi baik dalam
bentuk kepuasan materil maupun spiritual. Dalam konteks inilah kita dapat
berbicara tentang bentuk – bentuk halal dan haram, pelarangan terhadap israf,
pelarangan terhadap bermewah – mewahan dan bermegah – megahan, konsumsi sosial,
dan aspek – aspek normatif lainnya. Kita melihat batasan konsumsi dalam Islam
sebagaimana diurai dalam Alqur’an surah Al-Baqarah [2]: 168 -169 :
Hai sekalian manusia, makanlah yang
halal lagi baik dari apa yang terdapat dibumi, dan janganlah kamu mengikuti
langkah – langkah setan; karena setan itu adalah musuh yang nyata bagi kamu.
Sesungguhnya setan hanya menyuruh kamu berbuat jahat dan keji, dan mengatakan
terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui.
Sedangkan untuk batasan terhadap
minuman merujuk pada firman Allah dalam al qur’an surah Al-Maidah[5] : 90 :
Hai orang – orang yang beriman,
sesungguhnya (minuman khamer, berjudi,(berkorban untuk) berhala, dan mengundi
nasib adalah perbuatan keji termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah perbuatan –
perbuatan itu agar kamu beruntung.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar